SIKAP PEMALAS PELAJAR

Wujud Kegagalan Pendidikan Afektif Peserta Didik
Oleh: Gunawan,S.Pd

A.        Pendahuluan
Banyak persoalan dalam dunia pendidikan. Kompleksitas persoalan pendidikan merupakan miniatur persoalan kehidupan. Persoalan tersebut ada yang tampak di permukaan, ada pula yang tidak tampak di permukaan.  Persoalan yang tampak di permukaan ada yang perorangan dan ada yang masif. Banyak pemerhati pendidikan melihat kegagalan pendidikan dari hal yang tampak, seperti banyaknya terjadi tawuran pelajar, maraknya tindakan asusila, amoral dan lain sebagainya. Padahal yang tidak tampak tidak kalah banyaknya.  Persoalan pendidikan yang tidak tampak ini sebenarnya sangat dirasakan oleh para pendidik.  Contoh persoalan tersembunyi  yang merupakan fenomena pelik dalam dunia pendidikan adalah sikap malas sebagian peserta didik. Yaitu adanya sikap malas dari sebagian peserta didik untuk menjadi lebih baik, lebih maju dan lebih sukses.
Fenomena sikap malas  ini cukup terasa bagi para pendidik di wilayah pinggiran. Banyak peserta didik yang tidak merasa biasa-biasa saja ketika berkali-kali harus remidi, bahkan sambil berkelakar “jos aku telu” , ketika diberi tugas banyak terbengung tanpa mau mencoba menyelesaikan sendiri, ketika diberi PR tidak mengerjakan, tidak punya catatan materi, buku paket hanya ditinggal dalam bangku dan lain-lain.  Fenomena kemalasan peserta didik tersebut tersebar disemua ruang dan tingkatan dengan berbagai variasinya. Persoalan ini pula yang menjadi beban berat bagi para guru di sekolah pinggiran, dimana peserta didik sangat hiterogen dalam kemampuan akademik (karena tidak ada seleksi dalam penerimaan peserta didik setiap tahunnya).
Sikap malas ini jika terakumulasi dalam setiap aktivitas kemungkinan menjadi penyebab segala persoalan publik yang mewarnai bangsa ini. Untuk itu fenomena kemalasan peserta didik ini sangat penting untuk dilakukan pengkajian. Tentunya pengkajian ditinjau dari filosofis, psikologis, sosiologis dan budaya lembaga pendidikan dan masyarakat sekitarnya. Perlunya tinjauan atas keempat aspek tersebut merupakan konsekuensi logis yang memberi warna pada aktivitas pendidikan.
B.        Definisi
Untuk pengkajian secara utuh atas fenomena kemalasan peserta didik tersebut di atas,  perlu dipahami dahulu istilah filosofi, psikologi, sosiologi, dan budaya dalam dunia pendidikan.
Filosofi pendidikan adalah tinjuan pendidikan didasarkan pada pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat pendidikan, sebab, asal, dan hukumnya. Filosofi pendidikan dapat juga diartikan teori yg mendasari kegiatan pendidikan. Filososfi pendidikan juga dapat diartikan falsafah pendidikan. Dengan demikian filosofi pendidikan yang dimaksud adalah falsafah atau teori atau dasar hukum yang mendasari kegiatan pendidikan.
Psikologi  pendidikan dalam arti bebas  adalah ilmu yang mempelajari tentang jiwa/mental peserta didik.  Psikologi pendidikan tidak mempelajari jiwa/mental peserta didik  secara langsung karena sifatnya yang abstrak, tetapi psikologi pendidikan membatasi pada manifestasi dan ekspresi dari jiwa/mental peserta didik tersebut yakni berupa tingkah lakunya dan prosesnya atau kegiatannya. Dengan demikian  psikologi pendidikan dapat didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari tingkah laku dan proses mental peserta didik.
Sosiologi adalah pengetahuan atau ilmu tentang sifat, perilaku, dan perkembangan masyarakat. Sosiologi juga diartikan ilmu tentang struktur sosial, proses sosial, dan perubahannya. Sedangkan sosiologi pendidikan merupakan spesialisasi dalam ilmu sosiologi yg mengkaji sikap dan tingkah laku masyarakat yg terlibat dalam sektor pendidikan dalam masyarakat.
Sedangkan budaya adalah keseluruhan cara hidup, cara berpikir, dan pandangan hidup yang sudah wajar atau menjadi kebiasaan yg sudah sukar diubah atau sudah mendarah daging.

C.        Pembahasan
  1. Kemalasan Pelajar
Di abad yang kian maju, pelajar Indonesia bukannya menunjukkan kualitasnya dalam kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif, tapi sebagian malah menunjukkan kemalasannya belajar. Banyak alasan yang membuat pelajar malas belajar. Ada yang datang dari lingkup sekolah, ada juga yang dari luar sekolah. Dari lingkup sekolah misalnya karena gurunya. Ada juga karena pelajarannya makin sulit, malas baca buku pelajaran, atau bosan. Pengaruh luar sekolah seperti suka main game, sinetron, HP, ngluyur atau nongkrong. Ada pula faktor penyebab yang datang dari keluarga, misalnya orang tua yang kurang harmonis, kondisi ekonomi keluarga yang kekurangan, dan pikiran yang pesimistis. Dampak kemalasan ini mengakibatkan penurunan prestasi siswa, menurunkan citra sekolah,  juga merugikan orang tua. Kemalasan ini bisa dikarenakan kurangnya guru memberikan motivasi kepada siswa, ditambah sarana pembelajaran yang kurang memadai. Oleh karena itulah, diperlukan kerja sama antara guru, wali kelas, dan orang tua untuk mencari akar permasalahannya.

Sebagian orangtua beranggapan, tugas mencerdaskan anak ada pada sekolah. Akibatnya, tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak sangat lemah. Padahal pendidikan itu menjadi tanggung jawab bersama antara orang tua murid, sekolah, dan masyarakat. Untuk itu orang tua harus mampu berperan mengontrol pendidikan anak-anaknya dengan banyak cara, misalnya memberikan dukungan agar anak mereka punya semangat belajar. Kurangnya perhatian orang tua dalam mendidik anak menyebabkan anak yang malas belajar dan tidak terkontrol. Sedangkan tantangan yang dihadapi murid sekarang lebih besar ketimbang zaman dulu. Jalan keluarnya yang pertama, keluarga harus membangun kembalikan fungsinya untuk membangun pendidikan di rumah. Di sini orang tua dan keluarga berperan penting untuk mencerdaskan anak-anak mereka, baik untuk kecerdasan spiritual, mental, maupun sosial. Kedua, semua pihak, termasuk sekolah, masyarakat dan pemerintah harus memberikan pendidikan yang mampu membangkitkan semangat belajar anak.

  1. Tinjauan Filosofis
Dalam UURI No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas dijelaskan pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kapada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Mengacu fungsi dan tujuan pendidikan nasional di atas, dalam konteks pendidikan di sekolah dapat  dimaknai bahwa pendidikan di sekolah merupakan upaya untuk  mencerdaskan kehidupan peserta didik melalui upaya mengembangkan kemampuan atau potensi peserta didik secara utuh, membentuk watak peserta didik serta membentuk peradabannya yang bermartabat.  Sedangkan tujuan pendidikan di sekolah  selain menjadikan peserta didik menjadi sholeh (baik), sehat, pintar, cakap, kreatif, demokratis, juga menjadikannya mandiri dan bertanggung jawab. Dengan demikian pendidikan di sekolah sangat menekankan  pembentukkan kesadaran peserta didik untuk bertanggung jawab tentang tugasnya. Adapun tugas utama peserta didik adalah belajar dan mengembangkan potensinya hingga ia menjadi manusia paripurna.
Pendidikan selain meningkatkan kemampuan kognitif dan psikomotorik juga harus mampu membentuk sikap yang popular disebut afektif . Ada beragam sebutan afektif dalam kajian ilmu pendidikan. David Pratt menyebut karakteristik ini dengan sebutan disposisi.[i] Sedangkan Robert M. Gagne menyebutnya attitude.[ii] Sedangkan dalam dunia pendidikan di Indonesia afektif diterjemahkan dengan istilah sikap. Dan dalam kurikulum 2004 disebut kecerdasan emosional.[iii] 
Pada dasarnya karakteristik manusia terkait dengan cara berpikir, bertindak, dan merasa  yang tercermin dalam karakteristik kognitif, psikomotor dan afektif.  Karakteristi afektif dideskripsikan sebagai kualitas yang menunjukkan cara tipikal merasakan atau mengekspresikan emosi.[iv]  Kaitannya dengan tujuan pendidikan, afektif merupakan tujuan yang menekankan perasaan, emosi, atau tingkat penerimaan dan penolakan.[v] Tujuan afektif  tersebut juga diekspresikan sebagai minat, sikap, apresiasi, nilai, dan emosi.[vi]  Hal tersebut senada dengan yang dikemukakan Popham, bahwa perilaku afektif tercerminkan dalam sikap, minat, dan nilai seseorang.[vii]
Dengan berbagai pengertian di atas, afektif dalam belajar dapat dipahami sebagai cara merasakan atau mengekspresikan emosi belajar, yang menunjukkan penerimaan atau penolakan obyek pelajaran. Rasa atau emosi tersebut dapat berupa minat, sikap, apresiasi, nilai, dan emosi yang terkait dengan obyek yang dipelajari.
Aspek afektif mendeskripsikan kualitas yang menyajikan cara tipikal perasaan seseorang atau ekspresi emosi. Karakteristik afektif ini memiliki atribut yang menadainya, yaitu: intensitas, arah dan target.[viii] Atribut intensitas mengacu pada tingkat atau kekuatan perasaan, yang dapat bervariasi antar individu, yang dipandang sebagai kontinum, yang merentang dari yang sangat tinggi (kuat) sampai sangat rendah (lemah), sehingga afektif tidak dapat dipahami sebagai ada atau tidak ada. Dalam kontek pembelajaran, dalam atribut intensitas dapat diketegorikan memiliki sikap kuat, sedang atau rendah terhadap pelajaran.  Atribut arah mencerminkan aspek positip, netral, atau negative. Hal ini berarti bahwa perasaan atau emosi pada obyek afektif akan mengarah pada penerimaan atau penolakan. Tatapi arah tersebut hanya bersifat derajat, bukan hitam putih, dan berbentuk kantinum yang merentang dari penolakan yang lemah sampai penolakan yang kuat, atau sebaliknya dari penerimaan yang kuat sampai penerimaan yang lemah. Dalam konteks pembelajaran adalah atribut arah menyangkut derajat penerimaan atau penolakan terhadap pelajaran. Selanjutnya atribut target mengidentifikasi obyek yang menjadi sasaran dari perasaan atau emosi. Dalam kontek pembelajaran, contoh obyek menjadi sasaran adalah guru, sumber belajar, media, materi dan lain-lain.
Falsafah yang dominan membentuk sikap peserta didik adalah falsafah yang dipegang oleh peserta didik sendiri. Apabila peserta didik berfalsafah, sinauo mempeng yo ora iso juara, atau dadio juara yo ora mungkin nerusne (melanjutkan sekolah), akuke sinau karo ora yo podo wae, dan falsafah-falsafah lain yang pesimistis, akan menyebabkan anak malas belajar. Ketika falsafah pada personal peserta didik tidak bisa dicerahkan melalui kegiatan pendidikan maka mustahil tujuan pendidikan dapat tercapai dengan baik.
  1. Tinjauan Psikologis
Dalam kajian psikologi dan pendidikan, sikap malas masuk dalam persoalan aspek afektif. Untuk melakukan tinjauan psikologis sikap malas perlu dikaji beberapa konstruk untuk mencerminkan karakteristik afektif. Diantaranya yang banyak dibahas adalah sikap, motivasi, konsep diri, minat, dan nilai. Dengan pembehasan sebagai berikut:
  • Sikap. Sikap sebagai disposisi untuk merespon secara positif atau negative terhadap suatu obyek situasi, konsep, atau orang, yang merupakan hasil belajar. Dalam pendidikan banyak jenis sikap positip yang perlu dikembangkan oleh guru, diantaranya adalah sikap terhadap pelajaran, sikap terhadap belajar, sikap terhadap diri, sikap terhadap mereka yang berbeda dari siswa, dan lain-lain. Sikap memiliki potensi untuk mempengaruhi proses belajar, perilaku di luar kelas, kesediaan mengikuti pelajaran yang lebih lanjut.[ix]
  • Motivasi. Nasser dalam Ahmad Ludjito dkk., mendeskripsikan motivasi sebagai suatu proses yang: (1) mendorong dan menyebabkan perilaku, (2) memberikan arahan untuk berperilaku, (3) membolehkan perilaku tertentu untuk terus berlangsung, dan (4) mengarah pada pemilihan atau menyukai perilaku tertentu.[x]  Siswa yang termotivasi mengekspresikan harapan sukses yang lebih tinggi, memiliki konsentrasi yang lebih tinggi, cenderung kooperatif sehingga lebih terbuka untuk belajar dan meningkatkan pemrosesan informasi, bekerja lebih lama dan lebih giat.
  • Konsep diri. Konsep diri merupakan persepsi seseorang tentang diri yang dibentuk melalui pengalaman dan lingkungan, terutama orang-orang yang signifikan.[xi] Konseptualisasi diri dipandang sebagai penentu setiap perilaku seseorang. Ia memiliki peranan yang sangat penting sebagai factor dalam integrasi kepribadian, memotivasi perilaku dan dalam mencapai kesehatan mental.[xii]
  • Minat. Minat merupakan kesenangan untuk melakukan suatu hal tertentu.[xiii] Pada umumnya minat dikaitkan dengan kegiatan berhubungan dengan pekerjaan dan kesenangan. Dalam proses pembelajaran, minat dikaitkan dengan kesediaan siswa untuk melakukan aktivitas belajar sehingga berpengaruh pada hasil belajarnya.
  • Dan nilai. Nilai merupakan hal yang berharga yang dilekatkan pada aktivitas maupun obyek, kesukaan untuk tujuan atau pendangan hidup, keyakinan tentang tindakan sesuai dengan kesukaan, , dan konsepsi yang diharapkan secara nyata mempengaruhi perilaku.[xiv]
Ada beberapa bentuk dan sifat kemalasan. Pertama, ada kemalasan yang dipicu oleh perubahan faktor eksternal. Meminjam istilah yang dipakai Philip G. Zimbardo, Scott, Foresman (1979) dalam bukunya Psychology & Life, ini bisa disebut kemalasan yang bentuknya "state" (keadaan). Seorang pelajar  akan mendadak malas belajar ketika hasil belajar giatnya ternyata memperoleh nilai rendah. Atau seorang pelajar akan mendadak malas ketika pekerjaan rumahnya yang dikerjakan dengan sungguh-sungguh ternyata tidak dinilai. Banyak orang yang tiba-tiba malas saat apa yang diperoleh tidak sesuai dengan harapannya, kemalasan yang bentuknya "state" ini bersifat sementara (temporer). Kedua, ada kemalasan yang timbul akibat irama mood. Mood adalah perubahan intensitas perasaan. Ada yang menyebutnya juga dengan istilah siklus kehidupan (life cycle). Kemalasan semacam ini umum dialami oleh hampir semua manusia. Orang yang paling giat pun terkadang menghadapi saat-saat yang membuatnya merasa malas. Yang membedakan orang di sini bukan soal pernah dan tidak pernahnya, tetapi adalah apa yang dilakukan saat detik-detik buruk itu tiba. Ada yang hanya melamun, jalan-jalan ke sana kemari tanpa tujuan, ada yang mengisi membaca, menonton dan lain-lain. Ketiga, ada kemalasan yang memang dirinya sendiri yang menciptakan. Kemalasan semacam ini bisa disebut "trait", bawaan. Bawaan di sini maksudnya bukan bawaan dari lahir atau semacam yang sering kita sebut "takdir seseorang". Bawaan di sini maksudnya ia sendiri menciptakan, ia yang memilih, ia sendiri yang menjadi penyebabnya. Kemalasan seperti ini sifatnya permanen, atau abadi, selama ia tidak mengubahnya.  Meski demikian kemalasan itu tidak secara jelas dapat dibedakan. Bahkan ketika ingin menelusuri sebab-sebab kemalasan seseorang, kadang tidak ada ujung pangkalnya karena merupakan akumulasi berbagai faktor.
  1. Tinjauan Sosiologis
Lembaga pendidikan merupakan miniatur masyarakat, karena di dalamnya berinteraksi banyak manusia yang memiliki keberagaman latar belakang, pandangan, tingkah laku, dan sikap. Untuk sekolah pinggiran yang memiliki latar belakang sosial ekonomi yang bervariasi serta kemampuan akademik yang sangat hiterogen, tentu akan berakibat pada bervariasinya pandangan, tingkah laku, sikap terhadap pendidikan. Anak yang berasal dari keluarga yang serba kekurangan kebanyakan motivasi belajarnya juga rendah. Mereka menganggap sekolah karena tuntutan wajib belajar 9 tahun semata, bukan merupakan kebutuhan untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Anak-anak yang berpandangan demikian akan menunjukkan sikap malas dalam belajar. Yang lebih parah lagi mereka para pemalas ini memiliki kelompok sendiri, yang senantiasa berulah untuk mengganggu peserta didik lain dalam belajar, dengan memberi cemoohan pada yang berprestasi baik. Selain itu kelompok pemalas ini kadang mereka berkompetisi untuk cepat-cepatan menyelesaikan tes, dengan keberanian mempertaruhkan jatuhnya nilai tes. Selanjutnya mereka yang nilainya paling rendah justru berbangga dihadapan teman-temanya. Keadaan yang demikian membuat tetap nyaman mereka para pemalas, tidak ada rasa kecewa ataupun penyesalan atas sikapnya, seolah ia ingin meyakinkan inilah saya.
Meraka yang demikian tetap nyaman pula ketika di rumah, karena dikeluarga tidak ada yang memantau anaknya, mungkin orang tua berpandangan soal pendidikan sepenuhnya tanggung jawab sekolah. Atau memang orang tua sudah tidak mudeng dengan pendidikan, sehingga ia sama sekali tidak tahu apa yang harus dipantau, tahunya anaknya baik, rajin masuk sekolah dan tidak neko-neko. Di masyarakat merakapun tidak merasa malu ketika nilai sekolahnya jelek, tidak naik kelas, bahkan tidak lulus ujian. Karena masyarakat bersikap acuh terhadap pendidikan.
Keadaan sosiologi yang didiskripsikan di atas, akan memberi kenyamanan bagi peserta didik untuk bermalas-malasan belajar.
  1. Tinjauan Budaya
Budaya atau kebiasaan-kebiasan aktivitas anak sangan berpengaruh terhadap sikap anak pada pendidikan. Budaya tersebut ada yang berupa kebiasan-kebiasan pribadi. Ada pula kebiasaan-kebiasan keluarga atau masyarakat. Contoh-contoh kebiasaan-kebiasaan pribadi sebagai berikut, anak yang terbiasa ngluyur menjadi tidak nyenyak berada dirumah, apalagi untuk belajar. Anak yang maniak sinetron, tidak akan tenang belajar ketika waktu tayangan sinetron. Anak yang terbiasa berjam-jam main HP atau game, tidak akan punya waktu cukup dan tenang dalam belajar. Sebaliknya anak yang terbiasa bangun malam untuk belajar, akan merasa sangat rugi jika suatu waktu ia tidak melakukannya. Anak yang terbiasa tertib mengerjakan tugas, merasa bersalah dan rugi besar ketika ia suatu saat tidak mengerjakan tugas. Sedangkan contoh kebiasaan keluarga yang berpengaruh terhadap sikap belajar anak sebagi berikut, keluarga yang terbiasa tidur jam 19.00 WIB dan bangun jam 06.00WIB, akan melemahkan tekad anak untuk belajar malam; keluarga yang biasa menonton TV disaat anak sedang belajar, akan melemahkan konsentrasi belajar; ayah yang selalu ngluyur dimalam hari, akan memotivasi anak laki-lakinya melakukan hal serupa sehingga tidak ada motivasi belajar. Sedangkan contoh kebiasaan masyarakat yang berpengaruh terhadap sikap belajar anak diantaranya: kebiasaan komunitas  teman sebaya dilingkungannya selalu tongkrongan sepanjang hari, akan menghilangkan kemauan belajarnya.
Dengan demikian seluruh kebiasaan yang dilakukan oleh peserta didik maupun kebiasaan-kebiasaan yang ada dilingkungannya akan sangat berpengaruh terhadap sikap belajar peserta didik.

D.        Simpulan
  1. Sikap malas pada peserta didik pada hakekatnya masalah mendasar dalam pendidikan, untuk itu sikap ini harus diberantas.
  2. Falsafah diri peserta didik, keadaan psikologis peserta didik, keadaan sosiologis sekolah dan lingkungan peserta didik, serta kebiasaan-kebiasaan peserta didik maupun orang-orang disekitar peserta didik akan sangat berpengaruh terhadap sikap belajar peserta didik.
  3. Untuk memberantas sikap malas peserta didik diperlukan terapi yang tepat dengan usaha penyelesaian yang melibatkan guru, orang tua dan masyarakat.


[i] David Pratt, Curriculum: Design and Development (San Diego: Harcourt Brace Jovanovich, 1980), h.176
[ii] Robert M.Gagne & Marcy Perkins Drisscoll, Essentials of Learning for Instruction (Englewood: Prentice-Hall, 1988),h.57
[iii] Departeman Pendidikan Nasional, Pelayanan Profesional Kurikulum 2004: Penilaian Kelas (Jakarta: Pusat Kurikulum balitbang Depdiknas, 2003), h.27
[iv] Gable, Instrumen Development in The Affective Domain. h.3
[v] Krathwohl,dkk., Taxonomy of Educational Objectives:Book II: Affective Domain, h.7.
[vi] Ahmad Ludjito, dkk., Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam. (Semarang: Rasail Media Group, 2010), h.220.
[vii] Popham, W.James, Educational Evaluation, ed.ke-3 (Boston: llyn and Bacon, 1993),h.151.
[viii] Gable, Instrumen Development in The Affective Domain. h.3
[ix] Fadia M.Nasser, Structural Model of the Effects of Cognitive and Affective Factors on the Achievement of Arabic-Speaking Pre-service Teachers in Introductory Statistics, Journal of Statistics Education, 12(1),2004. Diperoleh (12/02/06) dari www.amsat.org/publications/jse/v12n1/nasser.html.
[x] Ahmad Ludjito, dkk., Guru Besar Bicara Mengembangkan Keilmuan Pendidikan Islam. (Semarang: Rasail Media Group, 2010), h.220.
[xi] Gable, Instrumen Development in The Affective Domain. h.7
[xii] R.B. Burns, The Self Consept: Theory, Measurement, Development and Behavior (Singapore: Longman Group,1979),h.28
[xiii] Gable, Instrumen Development in The Affective Domain. h.8
[xiv] Gable, Instrumen Development in The Affective Domain. h.10
 

Komentar